Selamat Datang di Blog Paskibra SMK Negeri 1 Slawi

Paskibra SMKN 1 SLAWI

Paskibra SMK Negeri 1 Slawi adalah salah satu ekstrakurikuler di SMK Negeri 1 Slawi. Paskibra SMK  Negeri 1 Slawi bediri tahun 1964 oleh Drs. Sugeng Sutrisno yang sekaligus pembina. Paskibra SMK Negeri 1 Slawi didirikan dengan latar belakang untuk menumbuhkan rasa patriotisme bangsa.

"MANTAPKAN LANGKAHMU JAYALAH PASKIBRAKU"
Kata-kata tersebut adalah semboyan dari ekstra kami.Paskibra SMK Negeri 1 Slawi menerapkan sistem kekeluargaan dan kebersamaan antar anggotanya.

"SEMANGAT KAWANKU, SEMANGAT BANGSAKU"

Filosofis Merah Putih

Sejarah Merah Putih

Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran. Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang. Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Sistem ini diadopsi sebagai bendera nasional pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan telah digunakan sejak saat itu pula. 

Arti Warna Merah Putih
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Peraturan Tentang Bendera Merah Putih 

Bendera negara diatur menurut UUD 1945 pasal 35,UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009 Nmr 109, TLN 5035): , dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.

·         Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur.
·         Bendera Negara dibuat dengan ketentuan ukuran:
  1. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
  2. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
  3. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
  4. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
  5. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
  6. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
  7. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
  8. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
  9. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;dan
  10. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
  11. Tiang bendera serendah-rendahnya 5 m dan setinggi-tingginya 17 m.
  • Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari.
  • Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Makna Lambang Garuda


  • Burung Garuda melambangkan kekuatan 
  • Warna emas pada burung Garuda melambangkan kejayaan
  • Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
  • Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu: 
  1. Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (sila ke-1)
  2. Rantai melambangkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (sila ke-2) 
  3. Pohon Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia (sila ke-3)
  4. Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat, Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan (sila ke-4) 
  5. Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5
  • Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
  • Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
  • Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
  1. Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
  2. Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8 
  3. Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19 
  4. Jumlah bulu di leher berjumlah 45 
  • Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda beda, tetapi tetap satu”.

Pembentukan Lambang Garuda

Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?

Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.

Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Sejarah Paskibraka

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jln. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk pertama kali secara resmi, bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang muda-mudi yang dipimpin oleh Bapak Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno. Bendera inilah yang kemudian disebut "Bendera Pusaka". Bendera Pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan, sampai Ibukota Republik Indonesia dipindah ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat maka Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya, Ibukota Republik Indonesia dipindakan ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan, agresinya yang ke dua. Pada saat Istana Presiden, Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Bapak Husein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditugaskan untuk menyelamatkan Bendera Pusaka. Penyelamatan Bendera Pusaka ini merupakan salah satu bagian dari sejarah untuk menegakkan berkibarnya Sang Merah Putih di persada bumi Indonesia. Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu. Agar dapat diselamatkan, Bapak Husein Mutahar terpaksa harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya.
Pada saat penyelamatan Bendera Pusaka, terjadi percakapan antara Presiden Soekarno dan Bapak Husein Mutahar. Percakapan tersebut dapat dilihat dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karangan Cindy Adams. Berikut petikannya: `Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar ke kamarku (Presiden Soekarno, pen.). "Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu", kataku ringkas. "Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi.
Dengan ini, memberikan tugas kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera Pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya." Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Di sekeliling kami, born berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. Tanggung jawabnya sungguh be rat. Akhirnya, is memecahkan kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan bendera itu.
Akhirnya dengan bantuan Ibu Perna Dinata, benang jahitan di antara Bendera Pusaka yang telah dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati berhasil dipisahkan. Setelah bendera menjadi dua, masing-masing bagiannya itu, merah dan putih, dimasukkan pada dasar dua tas milik Bapak Husein Mutahar, Selanjutnya pada kedua tas tersebut, dimasukkan seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya. Bendera Pusaka dipisah menjadi dua karena Bapak Mutahar berpikir bahwa apabila Bendera Pusaka merah putih dipisahkan, tidak dapat disebut Bendera, karena hanya berupa dua carikkain merah dan putih. Hal ini untuk menghindari penyitaan dari pihak Belanda.
Setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan diasingkan, kemudian Bapak Husein Mutahar dan beberapa staf kepresidenan ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota. Ternyata, mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Bapak Husein Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta, beliau menginap di rumah Sutan Syahrir Selanjutnya, beliau kost di Jln. Pegangsaan Timur No. 43, di rumah Bapak R. Said Sukanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri I). Selama di Jakarta, Bapak Husein Mutahar selalu mencari informasi bagaimana caranya agar dapat segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Soekarno.
Sekitar pertengahan bulan Juni 1948, pada pagi hari, Bapak Husein Mutahar menerima pemberitahuan dari Bapak Soedjono yang tinggal di Oranye Boulevard (sekarang J1n. Diponegoro) Jakarta. Isi pemberitahuan itu adalah bahwa ada surat pribadi dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Bapak Husein Mutahar. Pada sore harinya, surat itu diambil oleh beliau dan ternyata memang benar berasal dari Presiden Soekarno pribadi yang pokok isinya adalah perintah Presiden Soekarno kepada Bapak Husein Mutahar supaya menyerahkan Bendera Pusaka yang dibawanya kepada Bapak Soedjono agar Bendera Pusaka tersebut dapat dibawa dan diserahkan kepada Presiden Soekarno di Bangka (Muntok).
Presiden Soekarno tidak memerintahkan Bapak Husen. Mutahar datang ke Bangka untuk menyerahkan sendiri Bendera Pusaka itu langsung kepada Presiden Soekarno tetapi menggunakan Bapak Soedjono sebagai perantara. Tujuannya adalah untuk menjaga kerahasiaan perjalanan Bendera Pusaka dari Jakarta ke Bangka. Alasannya, orang-orang Republik Indonesia dari Jakarta yang diperbolehkan mengunjungi tempat pengasingan Presiden Soekarno pada waktu itu hanyalah warga-warga Delegasi Republik Indonesia, antara lain, Bapak Soedjono, sedangkan Bapak Husein Mutahar bukan sebagai warga Delegasi Republik Indonesia.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Bapak Soedjono, dengan meminjam mesin jahit milik seorang Isteri Dokter, Bendera Pusaka yang terpisah menjadi dua dijahit kembali oleh Bapak Husein Mutahar persis di lubang bekas jahitan aslinya. Akan tetapi, sekitar 2 cm dari ujung bendera ada sedikit kesalahan jahit. Selanjutnva, Bendera Pusaka ini dibungkus dengan kertas koran dan diserahkan kepada Bapak Soedjono untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Presiden Soekarno dengan Bapak Mutahar seperti dijelaskan di atas. Dengan diserahkannya Bendera Pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno, selesailah tugas penyelamatan Bendera Pusaka oleh Bapak Husein Mutahar. Setelah berhasil menyelamatkan Bendera Pusaka, beliau tidak lagi menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Sebagai penghargaan atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Bapak Husein Mutahar, Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerah-kan Bintang Mahaputera pada tahun 1961 yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno.

Gambar Untuk Paskibra



















                             


Dasar - Dasar Bela Negara

1. UUD 1945
2. UU-RI No.11/1987 tentang Pendidikan Nasional.
3. PERPU No.28/1990 tentang Dasar Pendidikan Nasional.
4. PERPU No.29/1990 tentang Pendidikan Menengah.
5. Keputusan Menteri P & K No. 0461/1984 tanggal 18 Oktober tentang Pembinaan Kesiswaan.
6. Keputusan Dirjen Pend. Dasar dan Menengah No.13090/C/1994 tentang Wawasan Wiyata Mandala.
7. Keputusan Dirjen Pembinaan kesiswaan No.251/C/8/091 tentang refisi buku petunjuk/materi Pembinaan Kesiswaan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More